Sabtu, 19 November 2011

Toleransi dan Pluralisme Kebangsaan


Toleransi  dan Pluralisme Kebangsaan
Oleh: Edi Sugianto*
Indonesia merupakan bangsa yang plural, berbagai macam suku bangsa, agama, ras, budaya, bahasa dan lain sebagainya tumbuh berkembang berdampingan. Namun tidak mudah menciptakan kerukunan antara satu sama lain. Menciptakan rekonsiliasi demi tercapainya tujuan bersama dan kesejahteraan serta kemaslahatan kolektif sungguh memang bukan pekerjaan mudah. sehingga tidaklah jarang kita temukan antara kelompok/ golongan yang satu dengan kelompok terjadi komplik. Atas nama golongan atau bahkan agama dan Tuhan, mereka saling mencerca, menindas bahkan membunuh satu sama lain. Apakah benar Tuhan mengajarkan seperti itu?, tentu jawabannya tidak.
Manusia dan kehidupan secara fitrah memang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa berbeda-beda atau bermacam-macam dan penuh warna-warni. Namun semua perbedaan itu bukan untuk bertikai dan bercerai beras. Haruslah disadari, perbedaan tercipta untuk bersatu dan saling mengenal. Bersatu tidak harus sama dan selalu bersama. Berapa banyak manusia hidup bersama-sama bertahun-tahun lamanya bahkan dalam satu atap, namun hati mereka tidak pernah bersatu. Jadi bersatu bukan terletak di wilayah fisik, namun di wilayah psikis (jiwa) dan hati.             
Saling menghargai, menghormati dan menerima satu sama lain, memang tidak semudah membacakan dan mendengarkan syair-syair. Karena sering kali terdapat perbedaan-perbedaan nilai dan norma, yang saling bersimpangan satu dan lainya. Semua harus menyadari, bahwasanya tidak akan pernah ada yang sama dalam kehidupan, tetapi manusia bisa bersatu dalam perbedaan, karena di dalam dirinya ada potensi persaudaraan (Al-Ukhuwah al-Insaniyah) yang telah diciptakan Tuhan YME.       
Alangkah indahnya hidup dalam persatuan dan persaudaraan, demi membuminya kedamaian dan tercapainya tujuan bersama. Apa yang dicari oleh manusia kecuali kebahagian hidup dunia akhirat. Kebenaran di sisi manusia hanya sesuatu yang relative, kebenaran mutlak hanyalah di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh  karena itu, manusia dituntut dan diperintahkan untuk berlomba-lomba mencari hakikat kebenaran itu. Maka diciptakanlah manusia berbeda-beda, namun dalam dirinya telah tercipta potensi yang sama untuk memcari kebenaran dan kebahagian.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk sekaligus religius. Masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang atheis yang tidak mengenal agama, karena bangsa ini memang terbentuk dari berbagai budaya dan agama yang beragam. Yang paling gembar-gembor diperbincangkan tentang toleransi, adalah toleransi beragama. Wacana  keberagaman agama yang sering diperbincangkan, tentu merupakan akibat dari komplik yang terjadi berkepanjangan.
Benturan antara umat beragama, tentu berdampak besar pada stabilitas sosial. Maka agaman yang berperan melakukan pencerahan, berinisiatip dan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan dengan bijak, maka tidak jarang diadakan dialog antar umat beragama itu. Alhasil, hal tersebut mampu menitralisir komplik-komplik yang terjadi karena intoleransi tersebut. 
Toleran sangat dibutuhkan di tengah masyarakat hidup berbangsa dan bernegara. Namun dewasa ini, toleransi dirasakan semakin lemah. Lalu, bagaimana untuk menumbuhkan dan memupuk kembali sikap toleransi?. Menurut Abu Hanifah dalam tulisannya dijelaskan, ada dua pendekatan untuk mengembakan toleransi dalam masyarakat plural, yaitu pendekatan sistem sosial dan pendekatan budaya.
Pendekatan sistem sosial delakukan melalui inter-group relation, yaitu hubungan antar anggota-anggota dari berbagai kelompok (etnik dan agama) untuk meningkatkan integrasi diantara mereka. Dengan adanya hal tersebut, dapat meminimalisir komplik-komplik yang sering terjadi. Pendekatan sistem budaya, bahwa masyarakat majemuk akan dapat kembali bersatu melalui kebijakan dan  pengamalan nilai-nilai atau norma-norma umum yang berlalu di tengah-tengah masyarakat. Dengan norma-norma umum tersebut, maka masyarakat plural akan mudah menjalin hungan yang harmonis. Dengan yang bersamaan, rasa persatuan akan tumbuh subur. Bagaikan tanah subur yang duhujani, sehingga tumbuh beranika macam bunga-bungaan yang indah dipandang mata, semerbak wanginya. Itulah gambaran manusia yang selalu mengedepankan sikap toleransi dalam kemajemukan. Beda dengan mereka yang intoleran. Bagaikan tanah gersang yang tidak akan pernah tumbuh apapun macam tanamannya.
Hemat penulis, memang tidak ada pilihan lain untuk menggalang persatuan dan kesatuan demi tercapainya kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat secara umum, kecuali dijembatani dengan sikap TOLERANSI yang tinggi dan penuh kesadaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar