Sabtu, 19 November 2011

MUI, Hanya Cekal Usang dan Alot


MUI, Hanya Cekal Usang dan Alot
Oleh: Edi Sugianto
Bangsa Indonesia memang sudah bebas dari penjajahan secara fisik. Namun, bangsa ini sangat jauh dari kemerdekaan yang sesungguhnya (non-fisik), seperti penjajahan budaya yang semakin hari semakin mengikis budaya dan menjamuri jati diri bangsa, yang religius dan berkarakter ketimuran.      
Kalau mendengar kata “barat”, yang akan tersirat pertama kali dalam benak kita adalah “liberalisme” atau sistem kebebasannya. Terutama kebebasan budaya, mode, trend atau gaya hidup yang serba bebas.
Sejak paska atau bahkan pra-kemerdekaan, bangsa ini memang telah dibangun dengan pondasi moralitas dan tradisi ketimuran yang religius. Hal tersebut telah menjadi kebijakan dan ketentuan (tertulis atau pun tidak). Karena semua peraturan tidak harus berada di atas kertas, namun bisa hanya sekadar tersirat sebagai identitas budaya.   
Memang bangsa ini tidak menutup pintu untuk menerima sistem Negara lain, seperti halnya kebebasan. Namun, bangsa Indonesia harus mampu memfilternya secara cermat, tentu dengan norma-norma yang dibuat oleh pemerintah atau wakil dari rakyat, sebagai batasan kebebasan yang masuk.
Namun, seiring dengan perkembangan globalisasi tanpa batas, kadang kala rakyat suatu bangsa tidak mampu membendung arus deras globalisasi. Akhirnya, tidak hanya air jernih yang masuk ke dalamnya, namun sampah dan kotoran pun masuk menerobos tanpa penyaringan. Ironisnya, hal itu terjadi pada Negara kita. Negara ini tercabik-cabik dengan penjajahan budaya bebas, yang menggrogoti gaya hidup generasinya. Bisa di lihat dari kebiyasaan kecil, misalnya gaya berpakaian, berpenampilan, bertutur  dan bersikap dan lain-lain. Nampaknya generasi bangsa ini sudah terjangkit budaya barat yang sarat dengan kebebasan. Pornografi dan pornoaksi sudah menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja di tengah masyarakat, yang katanya kental dengan religiusnya.

Artis Dangdut-Erotis Pantas Dicekal..!
Akhir-akhir ini, kita mendengar dari berbagai media, TV, koran dan media massa lainnya, mengenai pencekalan MUI (Majelis Ulama Indonesia) terhadap beberapa artis dangdut, yang divonisnya telah melanggar etika dan budaya ketimuran, yang mengancam  masa depan moralitas generasi dan anak cucu bangsa. Di mana ada aksi di situ reaksi, yang tampil merespon dengan tegas dan bijak. Aksi brutal para artis dangdut dengan tarian erotisnya, benar-benar telah mengusik aksi jajaran MUI sebagai kaum pimpinan agamawan, yang bertugas mencerahkan, mengawasi dan membimbing masyarakat Indonesia, yang menyangkut etika agama dan moral bangsa. 
Mengenai masalah pencekalan, MUI bukan tanpa tata karma dalam mengambil kebijakan tersebut. Bahkan jauh-jauh hari sebelumnya, MUI sudah memberi peringatan kepada beberapa artis tersebut, agar membatasi gaya mereka saat manggung di depan fansnya, mulai dari gaya berpakaian sampai tarian mereka yang memancing nafsu birahi. Hemat saya, MUI sudah cukup toleran dalam hal tersebut, indikasinya mereka masih memberi kesempatan para artis tersebut untuk memperbaiki etika-performa ketika di panggung. Namun hal itu tidak membuat mereka sadar, karena kebodohan mereka. Akibatnya, MUI mengambil kebijakan pencekalan terhadap mereka. Toh, walaupun reaksi balik dari para artis akan kebijakan tersebut sengat deras dan keras. Hal itu tidak membuat MUI mengubah niat untuk membatalkan kebijakan yang memang seharusnya dilakukan.         
Mencari Justifikasi dan Distorsi HAM
Hak asasi manusia (HAM) identik dengan kebebasan, namun ketika salah dalam menafsirkannya, maka akan terjadi ketimpangan dalam bertindak. Perlu kita sadari sebagai manusia yang bernorma dan ber-etika, bahwa kebabasan tidaklah mutlak dan serta merta dimikili oleh orang lain. Sebab hak asasi manusia sangat dibatasi oleh norma-norma yang ditetapkan sebelumnya. Kebebasan berlaku sebelum seseorang menyeburkan diri ke dalam sebuah norma, atau  dengan kata lain kebebasan itu ada sebelum menentukan pilihan, namun ketika seseorang telah menentukan pilihan, maka ia sudah terikat dengan norma yang ada di dalamnya. Contohnya, sebelum kita nikah, tentu kita bebas dalam menentukan dan memilih pasangan yang akan kita jadikan pendamping hidup. Namun setelah kita memilih salah satu dari sekian calon pasangan, maka secara otomatis kita terikat dengannya, yang disebut dengan ikatan pernikahan. Setelah itu kita tidak dibolehkan melanggar kontrak pernikahan, jika tidak, maka berarti kita melakukan perselingkuhan. Sama halnya dengan masyarakat yang ada di bawah nawungan bangsa Indonesia, mereka harus senantiasa mematuhi norma-norma yang ada di Negara ini, diantaranya norma budaya ketimuran, yang kental dangan religius-nya. Jika ingin bebas sebebas-bebasnya, menyangkut budaya dan gaya hidup dan berpenampilan, maka mereka pemuja kebebasan dipersilahkan untuk hijrah dari bangsa ini dengan terhormat menuju Negara barat yang penuh kebebasan itu.              
Idealita dan Realita Harus Sejalan
Namun sering kali disayangkan di Negara ini, sebuah regulasi dan norma yang bagus hanya berada di atas kertas dan ditatasan opini saja. Jika idealita tidak mampu menciptakan realita/faktualita yang kongkrit, maka tak ubahnya sebuah makanan alot dan usang yang tidak bisa dimakan dan dirasakan, maka sia-sialah.
Kembali kepada masalah pencekalan MUI terhadap artis dangdut-erotis. Hal tersebut mengingatkan saya dengan RUUAPP (undang-undang porno-aksi dan porno-grafi) beberapa tahun silam. Apakah hal tersebut mampu meminimalisir budaya pornoaksi-grafi di Negeri ini?, jawabannya malah terbalik jauh. Pornoaksi-grafi semakin merajalela. Siapa yang salah?. Saya tidak menyalahkan Undang-undangnya, namun sistem yang sudah sangat bagus sekali pun akan menjadi sia-sia, jika yang menjalankan sistem tidak mampu dan berani merealisasikannya. Sama saja bohong bukan?. MUI harus berani menidak tegas dan memberi hukuman seberat-beratnya kepada para artis dangdut erotis tersebut, jika mereka mencoba-coba melanggar peraturan itu lagi. Tidak hanya itu, MUI harus mengawasi tindakan-tindakan artis-artis lain dan program-program lain di negeri ini, yang mengarah pada tindakan pornoaksi-grafi. Seperti di tayangan-tayangan TV yang semakin banyak yang berbau porno. Jika itu tidak dilakukan, maka akan terjadi ketimpangan social dan ketidak adilan. Tegakkanlah hukum seadil-adilnya!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar