Sabtu, 19 November 2011

Guru, Profesi Mulia untuk Kemaslahatan Umat


Guru, Profesi Mulia untuk Kemaslahatan Umat
Oleh: Edi Sugianto*

Pahlawan tanpa jasa, itulah ungkapan sekaligus sebutan untuk orang yang menyandang profesi sebagai guru. Tidak bisa kita pungkiri merekah yang mencetak SDM bangsa ini, tanpa mereka, seorang presiden pun bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa. Tanpa guru jua, bisa dipastikan kita  tidak akan mengenal baca tulis. Apa kata dunia, jika sebuah bangsa besar, yang memiliki penduduk terbanyak di dunia, namun mayoritas mereka tidak mengenal baca tulis alias buta huruf. Betapa lucunya negeri ini, jika itu terjadi.
Guru sebagai profesi akan diakui secara Nasional, jika telah memenui syarat-syarat yang digariskan oleh pemerintah. Menurut UU no.14 Tahun 2005, “guru harus memiliki yang pertama kualifikasi akademik, artinya guru harus menempuh setidaknya S1. Kedua harus memiliki empat kompetensi, yaitu: kompetensi akademik, profesionalisme, kepribadian dan social. Ketiga, memiliki sertifikasi pendidik. Ke empat, sehat jasmani dan rohani artinya tidak sakit-sakitan dan tidak mengalami gangguan kejiwaan (gila) Kelima, memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Berapapun gaji/upah yang diterimah oleh guru, bukan ukuran keikhlasan guru tersebut. Karena keikhlasan seseorang terdapat dalam hati sanubari masing-masing. Dalamnya samudra mungkin masih bisa diukur, namun dalamanya hati tidak bisa diukur oleh apapun. Sebanyak apapun gaji guru, jasa-jasanya tidak akan bisa ditebus. dibayar atau diganti hanya dengan rupiah, yang mungkin hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Jadi, apa ukuran keikhlasan itu ?, Idris djauhari merupakan salah satu tokoh pendidikan kontemporer menegaskan, bahwasanya ikhlas adalah mengerjakan sesuatu sebaik mungkin..Hemat penulis, bisa dipahami dari ungkapan tersebut, bahwa jika kita ingin melihat tingkat keikhlasan seseorang, maka lihatlah seberapa bagus kinerjanya atau lihatlah totalitas dirinya terhadap pekerjaan tersebut. Namun hal tersebut hanya sedikit indikasi dari keiklasan seseorang dalam bekerja. Selebihnya kita tidak pernah tahu bagaimana hati seseorang. Hanya pencipta hatilah yang Maha tahu.
    Mengabdi sebagai guru adalah langkah kongkrit untuk mencapai kemuliaan dunia akhirat. Karena guru satu-satunya manusia yang tanpa kenal lelah membimbing, membentuk dan menciptakan generasi-generasi bangsa yang cerdas, tangkas dan ikhlas. Cerdas dalam intelektual, emosional dan spiritual, atau dalam dunia pendidikan dikenal dengan (tataran kognitif, afektif dan psikomotorik). Tangkas dalam menghadapi problema dan tuntutan hidup yang semakin kompleks dewasa ini. Dan ikhlas dalam berbuat, bekerja sebaik mungkin demi kesejahteraan dan kemaslahatan bangsa negara dan agama.
Secara filosofis guru memiliki tiga peranan signifikan sebagai “pencerah dan perekat” umat:
Yang pertama: tugas uswah, artinya guru harus menjadi contoh dan suri tauladan yang baik bagi para siswanya. Kedua, tugas Shuhbah, artinya guru senantiasa menjadi teman sejati murid-muridnya di mana dan kapanpun mereka berada. Ketiga, tugas dakwah, artinya guru mengajak, meyakinkan dan menuntun murid-muridnya kepada kebenaran.
Hal tersebut di atas (uswah, shuhbah dan dakwah), memang telah digagas oleh fouding father bapak pendidikan Indonesia, K. Hajar Dewantara dengan jargon Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”.  
Ing Ngarso Sung Tulodho. Maksudnya, guru ketika berada di depan meraka harus memberikan keteladanan. Guru layaknya orang tua bagi anaknya, apapun yang orang tua kerjakan, secara otomatis anak-anaknya akan selalu memperhatikan dan menirunya. Sebaik-baiknya dakwah adalah dakwah pebuatan (hal). Masyarakat akan lebih melihat keteladanan dari pada hanya sekedar ucapan. Angin tidak perlu berhembus gembar gembor, cukup bertiup dengan pelan tetapi mampu menyejukkan orang yang kepanasan. Masyarakat membutuhkan keteladanan, bukan untaian kata-kata belaka.. Betapa banyak petinggi negara kita yang pandai bebicara, tetapi tindakannya sama sekali tidak mencerminkan ucapannya.
Ing Madyo Mangun Karso. Maksudnya, guru ketika berada di tengah-tengah murid-muridnya, senantiasa memberi motivasi. Ketika melihat anak-anaknya patuh dan berprestasi, maka guru harus memberikan apresiasi dan semangat, agar mereka selalu meningkatkannya. Dan jika menemukan muridnya yang patah semangat dalam beribadah, belajar dan berlatih, maka guru harus menanamkan optimisme ke dalam jiwa mereka, mencerahkan dan memberikan pandangan yang bermotif positif bagi mereka.  
Tut Wuri Handayani. Maksudnya, guru ketika berada di belakang memberi dukungan untuk  murid-muridnya, agar selalu optimis maju untuk meraih garda terdepan. Orang tua, guru atau pimpinan perlu memberi dukungan dari belakang. Bagaimanapun dan siapapun seorang murid, pasti mengharapkan dorongan moril untuk melangkah maju menggapai kesuksesan. Ketika ada yang mendorong, semangat mereka akan berkobar dan akan mengalahkan apapun rintangan yang menghadang.
Guru sebagai profesi (pekerjaan), harus senantiasa dilokoni atas dasar dan niat mengabdi kepada Allah Swt. dengan perantara mengabdikan diri kepada bangsa, Negara dan agama yang kita yakini kebenarannya. Tak peduli walaupun jiwa, harta dan apapun yang mereka miliki menjadi taruhannya, demi tugas kekhalifaan dan penghambaan/ pengabdian  Jika hal tersebut benar-benar tubuh dari kesadaran dan panggilan jiwa seorang guru, alangkah mulianya Ia. Meskipun jasad terkubur di dalam perut bumi, namun pahala dari ilmu yang mereka ajarkan kepada murid-muridnya tidak akan pernah berhenti mengalir. Maka niatkanlah setiap pekerjaan (profesi) sebagai panggilan jiwa dan pengabdian kita kepada Tuhan YME.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar