Sabtu, 19 November 2011

Nasib Malang Guru Honorer


Nasib Malang Guru Honorer
Oleh: Edi Sugianto
Guru adalah orang yang paling mulia dunia akhirat..!, mungkin ungkapan itu baru bisa menggambarkan jasa-jasanya yang tak terbatas itu. Mungkin kah para pemimpin bangsa dan agama, ekonom, politisi, budayawan dan lain-lain, bisa berpredikat sebagai kaum cendikia tanpa arahan dan bimbingan guru tempo lalu?.
Guru sebagai bapak dan ibu psikis tak henti-hentinya membimbing anak didiknya tanpa kenal usia, waktu dan tempat. Mereka selalu ada dan siap menjadi teladan, teman dan penuntun yang baik. Karena pendidikan bukan hanya sekadar transformasi ilmu ke dalam otak, yang menjadikan manusia tidak tahu menjadi tahu. Namun lebih urgen dari itu, pendidikan secara filosofis merupakan transmisi nilai yang berdampak pada reformasi (perubahan) pola pikir dan tingkah laku. Hal itu meng-indikasikan, bahwa ilmu harus lah dibarengi dengan amal dan sebaliknya amal harus selalu berbanding lurus dengan ilmu, sihingga lahir lah ilmu nafi’ (bermamfaat) bagi dirinya dan orang lain seluruhnya. Itu lah makna memanusiakan manusia atau “humanisasi”.
Beberapa hari lalu, Indonesia berduka dengan berpulangnya, Prof. Muchtar Buchari, beliau salah satu tokoh penting dan terkemuka, khususnya di dunia pemikiran pendidikan. Beliau memang telah pergi untuk selamanya, namun jasa, pemikiran dan ilmunya (ilmu yuntafa’u bihi), akan selalu diamalkan oleh murid-muridnya dan pahalanya akan selalu mengalir, menjadi penyejuk perjalannya menuju surga. Semoga engkau bahagia di alam sana wahai bapakku, keselamatan dan kesejahteraan bagimu.
Mendidik merupakan pekerjaan mulia, namun tak banyak yang memilihnya. Masyarakat yang menginginkan menjadi guru lambat laun semakin langkah, entah dikarenakan jaminan kesejahteraan guru yang tidak sebanding dengan tanggung jawabnya atau ada faktor lain yang lebih menjanjikan seperti menjadi pengusaha, ekonom, birokrat sukses dan lain-lain. Memang menjadi guru tidak harus berprofesi sebagai guru, karena jiwa guru bisa dimiliki oleh orang-orang yang tidak berprofesi guru. Jadi jiwa guru adalah lintas-profesi.
Jika yang tidak menyandang profesi guru saja dituntut memiliki jiwa guru, apalagi yang berprofesi guru, yang dalam kesehariannya bersentuhan langsung dengan anak didik di sekolah, tentu jiwa guru adalah pondasi yang wajib dimiliki dan senantiasa dipupuk, agar selalu tumbuh berkembang subur di hati sanubari.
Guru Selalu Termarjinalkan
Akhir-akhir ini guru dan para pembuat kebijakan di hadapkan dengan polemik yang cukup kompleks, mulai dari sertifikasi, infrastruktur, administrasi dan kesejahteraan guru. Namun yang paling ekstrim diperbincangkan masalah “guru  honorer”. Diskriminasi terhadap guru honorer tak bisa ditutup-tupi oleh para pembuat kebijakan. Sebenarnya hal itu bukan persoalan asing dan baru, namun tindakan dan kebijakan diskriminasi terhadap guru honorer sebagai tenaga pendidik dan kependidikan merupakan persoalan klasik yang tak kunjung usai. Hal itu terjadi, karena pemerintah sebagai pembuat kebijakan masih tetap mempertahankan pemahaman dan persepsi kerdil mereka. Jadi, sangat lah mudah untuk menjawab mengapa mereka selalu menganaktirikan guru honorer?, sebab pemahaman mereka tentang pendidikan masih dangkal dan semit. Ironisnya, mereka masih saja membiarkan kebodohan itu berlarut-larut sampai anak-cucu. Maka tak jarang ditemukan kebijakan-kebijakan semena-mena lahir dari pemikiran mereka.
Tanpa guru honorer dan lembaga pendidikan swasta, pendidikan bangsa ini bukan lah apa-apa dan saya pastikan salah satu ujung tombaknya adalah guru honorer sebagai tenaga pendidik, sangat berperan penting di dalamnya. Contoh kongkrit dalam pembentukan moral generasi, misalnya dalam pedidikan agama Islam di Indonesia bisa dipastikan tidak akan  melahirkan cendikiawan-cendikiawan muslim tanpa pondok pesantren dan lembaga swasta lainnya yang independen. Saya tidak mendiskreditkan sekolah atau lembaga umum, namun itu lah kenyataannya.
Namun sangat disayangkan pesantren dan lembaga swasta selalu dipandang sebelah mata. Namun dengan NITI (niat, ijtihad, tawakkal dan iklas), guru honorer di lembaga-lembaga swasta akhirnya mampu menutupi berbagai macam kekurangan secara fisik (infrastruktur) maupun non-fisik, dan tak sedikit mereka jauh lebih baik dari lembaga-lembaga umum.        

In-come Sampingan
            Kesejahteraan guru honorer sangat jauh dari yang diharapkan, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari saja, mereka harus kerja sampingan, mulai menjadi tukang ojek, petani, cukur rambut bahkan pengembala kambing dan kerja serabutan lainnya. Sungguh keiklasan mereka tak diragukan lagi dalam pendidikan. Walaupun memang keiklasan tidak bisa diukur dengan sedikit dan banyaknya gaji, sebab keikhlasan berada di tataran psikis (hati), hanya pencip hati lah yang Maha Mengetahui. Kebijakan akan penigkatan kesejahteraan guru honorer memang sudah pernah dirancang, namun realisasinya sungguh belum pernah tampak dan terbukti. 
Kembali kepada titik permasalahan, kebijakan pemerintah yang berat sebelah itu tidak akan pernah terselesaikan, jika pemerintah sebagai pembuat kebijikan tidak sadar, bahwa guru honorer sangat lah besar peranannya dalam menciptakan SDM Indonesia yang cerdas dalam berbagai bidang. Jika mereka sadar, maka tindakan diskriminasi terhadap guru honorer tidak akan terulang kembali di masa akan datang, dan tidak lagi ada bangunan sekolah yang roboh, sehingga mengakibatkan sebagian siswanya meninggal dunia karena tertimpa reruntuhan bangunan. Itu yang menjadi harapan semua guru Indonesia. Bertindak lah adil demi stabilitas social dan pendidikan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar