Sabtu, 19 November 2011

Pendidikan Karakter, hanya Teori Kosong??


Pendidikan Karakter, hanya Teori Kosong??
Oleh: Edi Sugianto
Minggu lalu, saya sempat mengikuti diskusi panel dengan para guru di kampus UMJ (Universitas Muhammadiyah Jakarta), tentu tak lepas dari promlematika dan dinamika pendidikan dewasa ini. Diskusi saat itu mengenai “pendidikan karakter”, yang akhir-akhir ini banyak didengungkan oleh para pengamat dan penggiat pendidikan.
Berbicara pendidikan karaktermengingatkan saya dengan konsep,yang digagas K.Idris Djauhari (Pimpinan PontrenAl-Amien, Madura), tentang “kurikulum hidup dalam kehidupan” atau biasa disebut dengan “kurikulum 24 jam”, konsep ini telah diterapkan oleh beliau sejak awal perintisan madrasah pertama. Kurikulum hidup dalam kehidupan, maksudnyasegala aktivitas para siswa diprogram sebaik mungkin sebagai miniatur kehidupan di masyarakat kelak, mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali, berjalan dalam bingkai “islami, tarbawi dan ma’hadi”, dan dengan tujuan beribadah belajar dan berlatih.
Kembali kepada masalah pedidikan karakter, nampaknya Menteri agama dan pendidikan cukup serius dalam merumuskan program tersebut. Hal itu mengingat dan dilatar belakangi oleh gejala dan aktivitas anak didik/ generasi bangsa, yang lambat laun semakin jauh dari etika dan norma agama dan ideologi bangsa yang religius. Meningkatnya kenakalan remaja dan penyimpangannya sangat lah menjadi perhatian khusus oleh segenap penangung jawab pendidikan. Sebab jika tidak, maka akan mengakibatkan kebobrokan moral berkepanjangan.
Namun ironisnya,belajar dari pengalaman di beberapa tempat saya mengajar, nampaknya konsep pendidikan karakter masih berada di tataran wacana dan di atas kertas kurikulum saja. Jika hal itu terus berlanjut, maka konsep pendidikan karakter yang selama ini diharapkan merubah moral generasi bangsa tak ubahnya makanan usang yang tidak bisa dirasakan nikmatnya. Hemat saya, hal itu terjadi dikarenakan para guru belum benar-benar memahami sepenunya akan hakikat dan arah tujuan pendidikan karakter tersebut. Dikarenakan pemikiran mereka yang kerdil, maka pendidikan karakter benar-benar hanya ada dalam “kurikulum pengajaran” dan tidak membakas sama sekali dalamkeseharian para anak didik. Maka demoralisasi terus berlanjut tauran antar pelajar semakin ramai, seks bebas sudah menjadi hal biasa, bolos sekolah bukan masalah dan lain sebagainya.
Kurikulum hidup dalam kehidupan yang di bahas sebelumnya, sangat erat hubungannya dengan konsep pendidikan karakter tersebut, dengan misi dan tujuan sama, yakni agar para anak didik disamping memiliki kecerdasan intelektual (otak), mereka juga memiliki kecerdasan emosional dan spiritual (hati). Oleh karena itu, untuk membentuk watak (karakter luhur) anak didik tidak cukup hanya berhenti di ruang pengajaran dalam kelas saja. Namun, harus lah ada pembiasaan-pembiasaan yang dilaksanakan langsung di sekolah, dengan pengawasan yang ketat. Contoh kecil,seperti salat dhuha ketika istiharat pertama, bagaimana etika makan, bertutur yang baik dengan teman sesama, menjaga kebersihan lingkungan, membudayakan  senyum, salam dan salam, salat dhurur berjemaah dan segala aktivitas kehidupan bersama di masyarakat tercermin dalam miniatur sekolah.
Hal tersebut akan berjalan dengan baik, jika ada singkronisasi kerja antarakepala sekolah sebagai pengontrol dengan para guru yang menjalankansecara continue.Sama halnya dengan konsep K.Idris di atas, bahwa anak didik tidak hanya dibimbing dalam belajar dan berlatih saja, tetapi mereka harus lah diajak untuk beribadah secara langsung, baik ibadah yang transendental dan individual atau pun vertical yang mengarah pada etika-sosial. Akhirnya, anak didik nantinya  akan terbiasa dengan sendirinya melaksanakan aktivitas-aktivitasbaik tersebut, sehingga menjadi habit dalam kehidupannya. Pendidikan tidak lah cukup dangan pengajaran di kelas saja, sebab pendidikan adalah kegiatan transmisi nilai terhadap anak didik secara terpadu antara ilmu dan amal. Oleh sebab itu, keteladan guru (uswatun hasanah) sangat berperan penting dalam pendidikan karakter tersebut, karena mereka lebih banyak melihat tingkah laku dan gerak-gerik gurunya,  daripada ucapan yangsampaikan.
Dengan itu pendidikan karakter sesungguhnya akan terealisasi, sebagaimanaUU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar