Sabtu, 19 November 2011

Kurban di Balik Pengabdian “Paripurna”


Kurban di Balik Pengabdian “Paripurna”  
Oleh: Edi Sugianto*
Islam memiliki dua hari raya, yakni Idul fitri dan Idul adha. Hari raya Idul adha juga dikenal dengan hari raya haji. Sebab pada saat yang bersamaan, umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu haji ke Baitullah. Numun perintah tersebut hanya diberuntukkan bagi mereka yang mampu melaksanakannya, secara financial atau pun emosional. Sebab pergi haji tidak cukup hanya dengan persiapan uang, lebih dari itu Jemaah juga harus memilki kesiapan mental, artinya di samping sehat jasmani juga sehat rohani, dan memilki kesiapan ilmu yang memadai tentang hakikat haji tersebut.
Idul adha atau hari raya kurban, memiliki nilai historis yang agung dalam sejarah perjalanan seorang Nabi beserta istri dan anaknya. Keterangan tentang itu diabadikan dalam kitab-kitab agama sametik, Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Oleh sebab itu, mempercayai hal tersebut, secara faktualitas dan ibrah (pelajaran) adalah sesuatu yang sangat jelas dan tak bisa ditawar-tawar kebenarannya.
Hari raya kurban tak lepas dari sejarah Nabi Ibrahim dan Ismail anaknya. Bertahun-tahun lamanya Nabi Ibrahim hidup sebagai suami dari Siti Sarah (istri pertamanya). Namun dari hubungan suami istri tersebut, Allah belum berkehendak memberinya seorang anak sebagai penerus perjuangannya. Dengan kesolehan dan kejernihan pikir sang istri, Siti Sarah pun akhirnya mengizikan sang suami (Nabi Ibrahim) untuk menikah lagi dengan seorang budak bernama Siti Hajar. Dari istri yang kedua ini lah, Nabi Ibrahim dianugrahi seorang putra yang saleh, yaitu Ismail. Hal tersebut, tentu merupakan suatu nikmat luar biasa dari Tuhan, sebab impian Ibrahim untuk memiliki seorang anak terjawab lah sudah. Namun tak lama kemudian, ombak ujian pun kembali menghantam dan mencoba meluluk lantahkan kesabaran dan ketaatan Ibrahim sebagai hamba yang saleh. Cobaan itu tak lain adalah perintah Allah Swt. kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya (Ismail). Sungguh perintah itu di batas rasio (akal) manusia. Mana mungkin Tuhan memerihkan seorang bapak untuk menyembelih anaknya, sebagai kurban?. Karena Nabi Ibrahim adalah seorang Nabi yang bijaksana, akhirnya ia tidak serta merta menjalankan perintah itu, ditakutkan hal itu hanya tipu daya setan. Namun mimpi itu terus datang menghampiri Ibrahim, sehingga ia yakin bahwa perintah itu adalah wahyu, yang datang dari Allah Swt. maka dengan penuh keyakinan ia melaksanakan perintah itu.     
Dalam  Al-Qur’an dijelaskan, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS Ash Shaaffaat, 37:102). Sugguh ketaatan yang luar biasa diperlihatkan oleh seorang anak soleh, yang umurnya masih sangat muda, namun kedekatannya dengan Sang Khaliq sangatlah dekat. Sehingga Nabi Ibrahim AS pun melakukan perintah penyembelihan itu. "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya)". (QS. 37:103) Nabi Ibrahim AS telah melaksanakan perintah dalam mimpi itu tanpa keraguan, maka Allah SWT pun berfirman :"Dan Kami panggillah dia:"Hai Ibrahim", (QS. 37:104). "...sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik". (QS. 37:105) Allah menerangkan itu semua, dan menyatakan : "Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata". (QS. 37:106). Lalu, Allah SWT mengganti penyembelihan Ismail AS itu dengan firman-Nya, "Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar". (QS. 37:107).         
Sungguh kita sebagai orang yang beragama, harus mengambil ibrah berharga dari kisah dua Nabi agung tersebut. Mengingat hidup di dunia penuh dengan berbagai problema yang kompleks datang silih berganti, dalam keadaan apapun dan di manapun kita berada cobaan hidup pun akan datang menghampiri kita. Tentu tidak ada pilihan lain, kecuali menghadapinya dengan penuh kesabaran, sesuai dengan tingkatan cobaan yang datang. Oleh karenanya, tidak ada rumus “sabar ada batasnya” bagi pribadi kesatria, karena kesabaran sifatnya “unlimited”, artinya tak terbatas sesuai tingkatan cobaan yang datang, kesabaran pun dituntut mengimbangi dan menahkodainya. Orang yang mampu melalui cobaan yang datang dengan bersabar (secara aktif ataupun pasif). Maka secara otomatis ia akan tampil sebagai pemenang dan kemuliaan lah penghargaannya.
Secara garis besar ada tiga macam kesabaran dalam kehidupan manusia, antara lain: 
           Pertama, sabar dalam menghadapi berbagai macam musibah. Allah telah mensinyalir hal itu dalam (QS: al-Baqarah ayat 155-156). Kedua, sabar dalam melaksanakan kewajiban atau perintah Allah Swt. Ketiga: sabar dalam menjauhi segala larangan Allah Swt Dalam kehidupan ini sering kali kita mendengar kata “hak dan kewajiban”, yang mana dua kata tersebut tidak akan pernah terpisahkan relasinya. Manusia jika ingin mendapatkan hak-hak dalam kehidupannya, maka terlebih dahulu ia harus memenuhi kewajiban-kewajiban yang seharusnya Ia kerjakan. Tentu dalam melaksanakan kewajibanya, manusia harus selalu bersabar, istiqomah (konsisten) dan meminta pertolongan Allah Swt. karena tanpa ma’unah (pertolongan) Allah, manusia bukan lah apa-apa. Sebagai hamba (a’bit) dan khalifah (wakil) Allah di muka bumi, manusia harus senantiasa tawadhu’ (rendah hati), karena sesungguhnya segala kekuatan dan kekuasaan hanya milik-Nya.
Tipe kesabaran kedua dan ketiga di atas itu lah, benar-benar telah dilaksanakan dan diajarkan oleh Allah melalui Nabi agung Ibrahim dan Ismail AS, seperti kisah di atas. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan mampu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt, hingga di batas kemuliaan dan akhir hayat. Maka Allah menegaskan dalam firman-Nya: “Sekali-kali tidaklah daging-daging dan darahnya itu dapat mencapai Allah, melainkan ketakwaan yang dilakukan Ruhani kamu (yang dapat mencapai-Nya)” (QS Al hajj 22 : 37).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar