Sabtu, 19 November 2011

"Cenderawasih" di Pundak SBY


“Cenderawasih” di Pundak SBY
Oleh Edi Sugianto
Demokrasi dibangun dengan tekad menyingkirkan tirani dan duri-duri diskriminasi terhadap masyarakat yang hidup di dalamnya, dan partisipasi demokrasi pun menjadi merata dengan lintas budaya, bahasa, suku dan agama. Namun terlepas dari keberhasilannya, itu adalah sebuah proses yang selalu membutuhkan “check and balance”, artinya kehadiran demokrasi harus selalu diimprovisasi melalu pengawasan dan penyeimbangan. Megapa demikian?, sebab demokrasi sendiri harus melalui proses trial and error (coba dan memperbaiki kesalahan), itulah integritas/konsistensi demokrasi sejati. Dengan prinsip itu, maka demokrasi akan mampu mengoreksi dan mengontrol dirinya sendiri. Di bumi demokrasi jika menyisahkan diskriminasi kelompok minoritas dengan berbagai variasinya, maka sungguh tak layak disebut demokrasi. (Nurcholish Madjid, 1994).
Dalam tubuh demokrasi terdapat hak dan kebebasan memilih, yang menjadi jantungnya. Ketika jantung tersebut terhenti berdenyut atau sengaja diberhentikan, maka demokrasi pun akan tinggal nama alias mati. Hak meerupakan tuntutan keadialan dan kesetaraan hidup bersama, sedangkan kebebasan menuntut totalitas menjalankan kewajiban dan tanggung jawab sebagai bagian dari demokrasi itu sendiri. Hak-hak itu di antaranya, hak-hak sipil (perseorangan), warga Negara, ekonomi-sosial-budaya, dan hak-hak minoritas. Sebagaimana disebut di atas tentang “minoritas”. Hal itu sering kali menjadi perdebatan panjang, karena sering tersandung dengan pesan dan prinsip demokrasi itu sendiri, yakni “melindungi semua”.    
Ironi Tiga Pilar “Papua”
Melirik fenomena bangsa kita masa lalu, sekarang, atau bahkan masa depan, nampaknya tidak cukup bosan berbicara tentang diskriminasi kelompok “minoritas”. Hal itu dikarenakan bangsa ini masih berdemokrasi setengah hati. Jika kita lihat dengan seksama banyak penyimpangan di berbagai bidang, bahkan dari sudut prinsip sekalipun.
Membahas marjinalisasi, tentu pembahasan kita akan terpaut dengan kasus Papua yang belakangan ini cukup sengit diperbincangkan. Kasus Papua yang kompleks, mulai dari gerakan separatisnya, OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang tak kunjung teratasi. Kemudian penyelewengan dana Otsus (otonomi khusus), yang dikorup besar-besaran secara berjemaah oleh pemerintah pusat dan daerah, sehingga infrastruktur dan pemberdayaan rakyat Papua menjadi korban keserakahannya. Menurut Thamrin (pengamat sosial UI), pelaksanaan otonomi khusus tersebut sudah berjalan kurang lebih selama 10 tahun, hal itu mengindikasikan dana Otsus yang dikorup oleh pemerintah pusat dan daerah pun tak sedikit nominalnya.
   Pada bulan April 2011 lalu, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) mencatat berdasarkan hasil audit BPK, dana Otsus yang dianggarkan dari 2002-2010 jumlahnya 19,12 triliun rupiah. Dan ditemukan penyelewengan sebesar 4,12 triliun rupiah, baik yang dicuri oleh pemerintah Provinsi Papua maupun Papua Barat. (Koran Jakarta, Kamis/10/11/2011:2).
Kasus Papua tidak berhenti di situ. Bertambah lagi dengan kasus di Timika antara Serikat Pekerja dengan PT Freeport, yang tidak sedikit memakan korban akibat konplik yang berkecamuk. Lebih ironisnya, keserakahan pun berlanjut akibat kebodohan pemerintah, maka lingkungan saudara-saudara kita di Papua terancam pencemaran dahsyat yang mematikan, dan berakibat pada terkuburnya mata pencaharian mereka dan tentu kesehatan pun terganggu. Bisa kita bayangkan bagaimana pencemaran sungai itu terjadi, dalam sehari PT Freeport memuntahkan 240 ribu ton limbah yang bermuara ke sungai.    
Mengapa kasus yang bertubi-tubi menghantam dan menghantui bumi Cenderawasih itu?. Terlebih dahulu kita lihat tiga pilar, yang digadang-gadang menjadi fokus perhatiaan Pemerintah saat ini. Pertama, memperkokoh NKRI artinya, pemerintah menegakkan kadaulatan Negara di Papua. Kedua, Otsus atau dilaksanakan otonomi penuh di Papua. Ketiga, percepatan pembangunan di Papua. Ketiga hal di atas merupakan reaksi (respon) dari berbagai aksi yang muncul, dan seharusnya pemerintah melakukan tindakan “preventif”, bukan malah menunggu sampai sesuatu itu terjadi. Itulah kebiasaan Pemerintah kita yang bodoh. Pilar pertama adalah respon dari tindakan separatis di Papua oleh OPM, kedua, tindakan korupsi dan kemudian diskriminasi. Kata kunci dari semua itu adalah ketidakadilan, kedhaliman dan keserakahan Pemerintah yang tidak bertanggung jawab, dan ini juga menjadi jawaban dari petanyaan di atas.               
Hasil kekayaan Papua yang kaya dan melimpah ruah, namun sungguh ironis hanya sedikit sampai ke tangan masyarakatnya belum lagi dimakan oleh tikus-tikus berdasi itu, sehingga untuk menyambung nafas saja, sebagian rakyat Papua harus berburu berhari-hari lamanya di hutan. Masih pantaskah Negara ini disebut Negara demokrasi, sebagaimana disinggung di atas?, betapapun demokratisasi akan terus berlanjut dangan check and balance-nya, nampaknya sangatlah sulit Negara ini mencapai “demokrasi sejati”, jika pimimpin kita masih terjangkit “impotensi kharisma” dan “tuna-keberanian”. Maka sesuai dengan misi demokrasi itu sendiri, yakni menyingkirkan duri-diri diskriminasi dengan melindungi semua rakyatnya. Pak kepala Negara (Presiden) harus lebih tegas menyikapi dan menindak siapa pun yang ingin merongrong reputasi demokrasi bangsa ini, jika hukuman mati akan jauh lebih baik. Jika hal itu tidak dilaksanakan benar-benar, maka demokrasi kita hanya akan tinggal “nama”dan menjadi simbol abadi bangsa yang tak bermakna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar