Sabtu, 19 November 2011

Menyempurnakan Momentum Syawal


Menyempurnakan Momentum  Syawal
Oleh : Edi Sugianto
Ramadhan telah pergi meninggalkan kita. Kini kita berada dalam bulan Syawal, di mana kita diuji di dalamnya, masikah kita mampu mempertahankan tradisi-tradisi baik Ramadhan yang telah lalu. Bulan dan harinya boleh pergi, namun semangat melanjutkan kebisaan baik di bulan Ramadhan tidak boleh berlalu begitu saja. Ibadah ma’dhah (langsung) seperti shalat dan lain sebagainya, dan ghairu ma’dhah (tidak langsung) seperti memberi shadaqah dan kesolehan social lainnya, harus dipertahankan untuk hari selanjutnya.
Secara etimologi Syawal diambil dari bahasa arab, asal katanya syawwala-yusyawwilu, yang memiliki muradif (bersinonim) dengan kata izdada-yazdadu, yang artinya semakin bertambah, atau juga irtafa’a-yartafi’u yang memilki arti bertambah tinggi atau meningkat dan berkembang.
Berkembang maksudnya, tumbuh, bergerak, bertambah, maju ke depan, semakin meningkat dan sebagainya (kualitatif dan kuantitatif). Hidup berkembang, berarti hidup lebih baik dan sempurna dibandingkan dengan kehidupan sebelumnya, bertambah dewasa, disiplin, mandiri dan bermanfaat. Mengembangkan diri, maksudnya meningkatkan segala nikmat atau karunia yang diberikan oleh Allah Swt, berupa potensi-potensi diri, yang senantiasa harus diasah dan disempurnakan agar lebih bermakna, sehingga dengan demikian bisa bermanfaat untuk dirinya dan orang lain. Mengembangkan diri, kita mengenal falsafah “barang siapa yang hari ini lebih baik dari pada kemarin, maka ia termasuk orang beruntung. Barang siapa hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia orang yang merugi. Dan barang siapa hari ini lebih jelek dari pada kemarin, maka ia orang yang celaka”. (Idris Jauhari, Bejasa, Berkembang dan Mandiri, 1999).
       Apa yang harus kita tingkatkan atau kembangkan di bulan Syawal?, setelah sebulan penuh kita melatih diri dengan puasa Ramadhan. Pertama, yang harus kita tingkatkan adalah kesolehan individual, yaitu hubungan vertical (mu’amalah ma’Allah) yang harus kita tingkatkan, seperti kapasitas kekhusyu’an shalat kita, dan sebagainya. Kesolehan individual, seperti shalat, puasa dan sebagainya, diharapkan menjadi pondasi dan benteng dari kehidupan keberagamaan seseorang, agar tidak mudah  runtuh diterpa tipu daya kehidupan yang semakin menggiurkan dewasa ini. Kedua, yang harus kita tingkatkan adalah kesolehan sosial, yaitu hubungan horizontal (mu’amalah ma’annas), seperti membantu fakir miskin dan anak yatim, membantu perjuangan-perjungan di jalan agama Allah, dan sebagainya.
Kesolehan social harus ditingkatkan atas dasar dan prinsip kesolehan invidual, karena kesolehan sosial tanpa kesolehan individual dikhawatirkan praktiknya akan menjadi semu, rapuh dan penuh kemunafikan. Begitu juga sebaliknya, kesolehan invidual harus dibuktikan dengan kesolehan sosial yang kongkrit. Contoh di tengah kehidupan masyarakat kita, betapa banyak orang secara pribadi tanpak soleh, sudah haji berkali-kali, puasa Senin-Kamis, tetapi dalam prilaku sosialnya sangatlah kontradiktif. Jadi, kesolehan individual harus berjalan lurus dan beriringan dengan kesolehan sosial. Kesolehan individual dan social bagaikan satu mata uang yang memiliki dua sisi yang tak mungkin terpisahkan. (Nazaruddin Umar, Harian Pelita, 2011 (9/22) : 4 ).         
Keutamaan Puasa Syawal
Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad Saw bersabda, “barang siapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka pahalanya seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim). Dalam hadis lain, Nabi juga bersabda: “ Puasa Ramadhan (ganjarannya)  sebanding dengan (puasa) sepuluh bulan, sedangkan puasa enam hari (di bulan Syawal, pahalanya) sebanding dengan (puasa) dua bulan, maka itulah bagaikan berpuasa selama setahun penuh. (HR. Ibnu Khusaumah dan Ibnu Hibban).
Dari hadis-hadis di atas sangat jelas, bahwa puasa Ramadhan dan Syawal memilki makna dan pahala yang sangat besar, sehingga Allah Saw, melipat gandakan ganjarannya, bagaikan orang yang berpuasa setahun penuh, subhanallah. Mampukah kita berpuasa setahun penuh?, jawabannya jauh dari kemungkinan. Jangankan setahun, sebulan saja begitu lama rasanya untuk sampai di penghujung Ramadhan.   
Dengan puasa Ramadhan, kita mendapatkan pelajaran berharga, yaitu pelajaran menahan (shaum) atau mengendalikan diri dan hawa nafsu. Mengendalikan tidak semudah kita mengucapkannya, sebab banyak hal yang harus kita hadapi, berupa tipuan-tipuan kehidupan di tengah-tengah hiruk pikuk globalisasi yang semakin gencar. Semoga kita bisa menyempurnakan dan meningkatkan tradisi-tradisi bulan Ramadhan dan Syawal di bulan-bulan selanjutnya, menuju hari yang lebih baik dari sebelumnya, amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar