Sabtu, 19 November 2011

Indahnya Puasa dan Hari Raya Bersama-sama


Indahnya Puasa dan Hari Raya Bersama-sama 
Oleh :Edi Sugianto*
Puasa Ramadhan merupakan ibadah yang mempunyai waktu dan jumlah hari yang variatif setiap tuhunnnya, oleh karena itu, tidak sedikit umat Islam yang kontroversial dalam penetapan awal puasa. Meskipun pemerintah dalam hal ini Departemen Agama sebagai pemegang wewenang tertinggi dalam menentukan dan menetapkan awal Ramadhan, nampaknya  masyarakat khususnya Indonesia tidak cukup patuh terdadap pemimpinnya. Sebagian golongan memilih jalan dengan berijthad sendiri-sendiri sesuai keyakinan mereka. Apakah itu cerminan taat terhadap pemimpin (ulil amri)?, jawabannya ada pada kita semua.
Kebersamaan tentu sesuatu yang sangat kita rindukan dalam hidup beragama, berbangsa dan bernegara. Dengan semua itu, rasa persatuan akan tumbuh berkembang dalam diri masing-masing. Namun ironisnya, umat Islam khususnya Indonesia sangat jarang dan bahkan melupakan nilai-nilai kebersamaan dan persatuan dalam menjalankan syari’at, khususnya ibadah puasa. Alangkah indanya jika semuanya serentak memulai awal puasa dan merayakan idul fitri secara bersamaan. Tentu hal itu jauh lebih indah rasanya, kebersaman dan persatuan akan muncul menghiasi Ramadhan. Pemerintah harus lebih tegas dan mencari solusi yang paling tepat untuk meyakinkan seluruh umat Islam dalam mempersatukan persepsi tersebut.
Di Negara kita Indonesia, metode yang biasa dipakai dalam menentukan dan menetapkan awal bulan Ramadhan, yaitu metode hisab dan ru’yah.
Metode hisab, yaitu menggenapkan bilangan sya’ban menjadi 30 hari. Jika sudah genap, maka hari ke 31 merupakan tanggal 1 bulan Ramadhan. Metode ru’yah, yaitu melihat hilal bulan Ramadhan, jika bulan tersebut sudah kelihatan pada malam 30 bulan sya’ban, maka berarti telah masuk bulan Ramadhan dan keesokan harinya umat Islam wajib melaksanakan ibadah puasa,
Mengenai ru’yah dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 185 Allah berfirman “karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”. Nabi Muhammad Saw juga memperkuat dan menjelaskan dalam hadist riwayat Ahmad, Muslim, dan Ibnu Majah, beliau bersabda “ puasalah kalian jika melihat bulan, dan berbukalah  (beridul fitrilah) kamu sekalian karena melihatnya. Jika terhalang atau mendung maka sempurnakanlah bilangan sya’ban menjadi 30 hari”. Dari hadis itu juga, mengindikasikan jumlah bilangan bulan Ramadhan antara 29 dan 30. Tidak ada Ramadhan 28 atau 31, dan Nabi tidak melaksanakan itu.
Mengenai metode hisab Dr. Salim Segaf al-Jufri, MA,  menjelaskan bahwa banyak negeri yang mayoritas penduduknya Islam menggunakan hisab dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan. Maka perbedaan itu tidak bisa dipungkiri. Begitu juga di Negara kita tercinta Indonesia, penetapan awal dan akhir Ramadhan masih menggunakan hasil hisab. Sedangkan jika ada seorang muslim atau lebih, mengaku melihat bulan dan tidak sesuai hasil hisab pemerintah, maka pemerintah tidak sulit menerimanya. Inilah bertahun-tahun tidak ada perubahan waktu mulai puasa dari yang sudah ditetapkan dalam kalender. Dan dengan sendirinya ada pihak yang berbeda dalam mengawali puasa dengan keputusan pemerintah.
Ahli fiqih juga berelisih mengenai siapa yang valid kesaksiannya mengenai ru’yah hilal Ramadhan. Imam abu Hanifah berpendapat bahwa ru’yah hilal menjadi sebuah ketetapan yang wajib diikuti dengan adanya kesaksian sejumlah besar orang yang diketahui dengan pemberitahuan mereka jika memang langit dalam keadaan cerah, namun jika mendung maka kesaksian satu orang bisa diterima, karena mengingat kesulitannya. Namun Imam Malik mengharuskan kesaksian dua orrang yang adil dan teruji kepercayaannya.  Sedangkan Imam As-Syafi’e dan Imam Ahmad memiliki dua versi pendapat,   
Polemik  itu hanya terjadi dalam kasus penetapan hilal Ramadhan, sedangkan dalam penetapan awal bulan Syawal, mayoritas Ulama’ berpendapat bahwa kesaksian satu orang tidak dapat diterima. Mereka mengharuskan ada dua orang yang adil dalam kesaksian serta dapat dibuktikan.
Maka penulis sependapat dengan mereka yang mengatakan, bahwa hasil hisab kita gunakan sebagai alat bantu untuk menguatkan ru’yah. Dan jika ada seseorang atau lebih melihat bulan, maka dengan penuh keterbukaan pemerintah wajib menindak lanjuti. Untuk menguji kejujuran, dan amanah keilmiahan orang tersebut. Jika itu bisa dilakukan oleh Kementrian Agama dalam isbatnya, maka umat Islam tidak akan kontroversial dalam mengawali dan mengakhiri PUASA RAMADHAN atau merayakan HARI RAYA IDUL FITRI. Dengan itu juga persatuan dalam kebersamaan akan mudah terjalin. Sungguh indah kebersamaan jika hal tersebut dapat kita ciptakan.             

Tidak ada komentar:

Posting Komentar