Sabtu, 19 November 2011

PEMUDA PARIPURNA


PEMUDA PARIPURNA
Oleh: Edi Sugianto*
Waktu terus melaju cepat mengiringi dinamika perkembangan dan pembangunan (depelopment) suatu bangsa, baik dimensi fisik atau pun non-fisik. Membahas tentang perkembangan suatu bangsa, nampaknya tidak lengkap dan terasa hambar, jika tidak  membicarakan kaum muda generasinya. Sebab masa depan bangsa berada dalam genggamannya. Bagaimana pun, mereka merupakan pewaris tunggal untuk melanjutkan estafet perjuangan pendahulunya. Sebagai sentral perubahan (agent of change) dan pembangunan di berbagai bidang, baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, hukum, politik, agama, sosial dan budaya, daerah, sumber daya alam dan lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Tentu kaum muda harus mendapatkan perhatian serius dari para pendidik, mengingat kaum muda generasi bangsa harus dibentuk dan dipersiapakan sedini mungkin.
Mulai dari keluarga. Keluarga memiliki peran sentral dan fundamental, orang tua bertanggung jawab sepenuhnya dalam mencetak anak-anak generasi bangsa yang tangguh. Tidak hanya dari faktor kognitif, namun orang tua sebagai pendidik, harus mencermati perkembangan anaknya secara konprehensif dan integral, baik dari sektor psikomorik dan afektif. Hal itu karena, di satu sisi kaum muda dituntut cerdas secara intelektual, namun di sisi lain meraka juga cermat secara emosional dan spiritual. Sehingga dalam keseharian mereka penuh dengan makna. Dengan demikian, kaum muda senantiasa berfalsafah “beribadah belajar dan berlatih”, (Idris Djauhari, 2008).
Lingkungan yang tak kalah pentingnya, dalam mencetak kaum muda masa depan, adalah lembaga formal (sekolah, perguruan tinggi dan lain-lain). Di mana kaum muda lebih banyak belajar berinteraksi dengan sesama. Sekolah sebagai miniatur interaksi di masyarakat kelak, merupakan tempat strategis dan kondusif dalam pembentukan watak, pola pikir dan tingkah laku kaum muda. Solusinya adalah pembudayaan, sebab pembudayaan akan lebih membekas dari pada transformasi teori kosong. Transformasi akan menghasilkan reformasi (perubahan), jika ada pembudayaan di dalamnya. Dengan itu, maka teori akan terealisasi menjadi tradisi, habits, custom, ‘adah, atau dengan kata lain adalah “watak dan karakter”. Di lingkungan formal ini, mereka lebih mengerucut untuk menentukan di  mana dan di bidang apa kelak mereka akan berkiprah. Oleh sebab itu, potensi/kemampuan (competences) dan keterampilan-keterampilan (skill) harus senantiasa diasah dan dipertajam.      
Berjasa, Berkembang dan Mandiri (B2M)
Kemudian barulah kaum muda terjun ke medan perang sesungguhnya, yakni di masyarakat luas. Tempat di mana mereka mengabdikan diri bagi nusa, bangsa dan agamanya. Sebagai mana dibahas di atas, bahwa kaum muda merupakan agen perubahan. Maka sebagai kaum cendikia harus rela berkorban, tidak hanya sebatas pengorbanan harta benda. Namun jiwa atau nyawa sekalipun mereka korbankan demi kemaslahatan umat.
Sebuah falsafah indah “berjasa, berkembang dan mandiri” terlontar dari seorang pemikir sekaligus penggiat pendidikan yang alim, arif dan bijaksana, yaitu K.Idris Djauhari. Beliau salah satu tokoh pendidikan, yang tak pernah redup dan lelah dalam mencetak, membekali kaum muda agar selalu menjaga eksistensi, berpartisipasi dalam pembangunan bangsa, khusus bidang pendidikan.
Kaum muda sebagai sumber inspirasi masyarakat haruslah aktif, kreatif dan produktif. Sehingga dalam pengabdian (tugas berjasa), mereka juga akan berkembang sesuai bidang tugasnya. Dengan itu, kaum muda akan selalu bekerja dengan penuh percaya diri (self confident), sehingga akan menuai hasil optimal, sebab mereka telah memiliki keberanian, konsistensi dan cara pandangan yang utuh (integral), itulah makna “kemandirian”, (Idris Djauhari,1999).
Pemimpin dan Perekat Umat         
Pemuda sebagai pejuang perubahan tidak lepas dari potensi dirinya, yang telah terasah sebelumnya. Menurut Masad Masrur dalam tulisannya (2010), bahwa pemuda setidaknya memiliki dua rahasia kekuatan besar. Pertama, kekuatan personal, dalam Al-Qur’an dijelaskan mengenai sifat kekuatan personal tersebut, di antaranya qowiyyun amiin (kuat dan dapat dipercaya), hafidzun aliim (amanah dan berpengetahuan luas), bahthothan fil ‘ilmi wal jism (kekuatan ilmu dan fisik), ra’ufur rahiim (santun dan pengasih. Kedua, keunggulan mengorganisasi kekuatan, hal ini merupakan prinsip yang harus dimiliki kaum muda yang sempurna (paripurna), di antara prinsip itu adalah, kekuatan asas perjuangan, konsep dan metode perjuangan, integritas (konsisten), karakter luhur dan gagasan kristis. Dengan kemampuan-kemampuan itu, maka kaum muda akan tampil di atas panggung sejarah sebagai perekat umat, menjalankan tugas moderasi (ummatan usatan).   
Sumpah pemuda yang lahir 28 Oktober 1928 (pra-kemerdekaa) itu, merupakan langkah kongkrit menuju masa depan baru bagi kaum muda Indonesia. Saat itu mereka berupaya menanggalkan identitas diri masing-masing, mengingat mereka datang dari sebagai anak bangsa yang multicultural, multietnik, multi-bahasa dan multi-agama. Jika kemajemukan itu tidak bisa mereka lebur menjadi kesatuan persepsi, maka sangat sulit rasanya untuk mencapai kemerdekaan kala itu. Sehingga sebelum mereka berperang melawan penjajah (kolonial), terlebih dahulu mereka memerangi perbedaan-perbedaan itu. Fanatisme kelompok hurus di kubur dalam-dalam, sehingga yang tampak hanya “bendera merah putih”, yang menaungi “Bhinnika Tunggal Ika”. Maka dengan kokohnya persatuan, 17 Agustus 1945 kaum muda sukses memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar