Sabtu, 19 November 2011

Haji dalam Bingkai Kemanusiaan


Haji dalam Bingkai Kemanusiaan
Oleh Edi Sugianto*
Haji merupakan ibadah multi-dimensi, yang mana di satu sisi haji mendidik pelakunya agar selalu meningkatkan kapasitas ketakwaan dirinya (kesolehan individual) kepada Sang Maha Pencipta. Namun di sisi lain, haji mendidik pelakunya agar senantiasa meningkatkan kesolehan sosial, yang berhubungan langsung dengan sesama (muamalah maannas). Haji sebagai ibadah yang kaya dengan aspek sosialnya, diharapkan memberikan manfaat dan maslahah besar bagi umat manusia.
Apa sebenarnanya filosofis atau hakikat dari ibadah ini, sehingga mampu menyihir berjuta umat manusia untuk pergi secara serentak mendatangi Baitullah tersebut? Ketika Tuhan menyuruh (mensyari'atkan) umatnya untuk menjalankan suatu ibadah, tentu ada tujuan yang dimaksudkan di balik ibadah tersebut, kita kenal dengan maghosyidu as-syari'ah. Ibadah haji sangat kaya dengan pelajaran dan makna sosialnya. Oleh karena itu, para calon jemaah haji hendaknya mengetauhi sebelum mereka pergi melaksanakan ibadah haji.
Di samping tujuan yang harus diketahui dan dicapai oleh mereka, hal pertama dan paling utama mereka harus meluruskan dan selalu memperbaharui niat (karena Allah). Jangan-jangan haji yang mereka lakukan atas motif keriya'an kepada sesama, agar ketika mereka kembali dari ibadah haji hanya ingin menyandang gelar bapak/ibu haji. JIka hal itu benar-benar terjadi, sungguh ada kenihilan di dalamnya.
Mungkin sudah bisa dilihat sejak awal persiapan, apakah jemaah benar-benar mempersiapkan diri (secara mental) atau hanya mempersiakan uang banyak agar di sana (tanah suci Mekah dan Madinah) bisa shopping sepuasnya, tinggal di penginapan mahal dan serba mewah. Jika demikian yang terjadi, di mana pelajaran yang bisa di ambil dari haji tersebut. Bagi mereka, haji tidak ubahnya tour atau rekreasi ke tempat yang sarat dengan kemewahan dan kenikmatan yang tidak terbatas. Apakah itu haji mabrur yang mereka idam-idamkan?
Haji mabrur (baik dan diterima) hanya didapat apabila antara niat tulus, ilmu yang cukup (tentang haji) dan tujuannya (mencari cinta Allah) mampu disinergikan satu sama lain. Banyak orang yang tahu ilmu dan cara haji yang baik, namun ia tidak memiliki niat dan tujuan yang tulus karena Allah, melainkan karena manusia. Maka, hajinya seperti manusia tanpa ruh. Begitu juga sebaliknya, ada sebagian orang, yang memiliki niat tulus dalam melaksanakannya, namun mereka tidak mengerti dan tidak tahu hakikat ilmu dan cara (kaifiyah) melaksanakannya, maka haji mereka seperti ruh tanpa jasad. Artinya, amal mereka mengambang tanpa ilmu, karena tidak sedikit dari praktik ibadah yang dilakukan banyak menyimpang dari tuntunan yang seharusnya.
Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan, total jemaah haji Indonesia yang diberangkatkan pada 2011 sebanyak 221 ribu orang. Hal tersebut menunjukkan, jemaah haji Indonesia dari tahun ke tahun semakin bertambah. Tentu, hal itu merupakan keistimewaan tersendiri namun ironisnya, peningkatan jemaah haji tidak membuat kesolehan-sosial masyarakatnya juga meningkat. Intoleran semakin menjadi-jadi, dekadensi moralitas pun tak terbendung seiring dengan arus globalisasi, cacat dan gilanya para pemimpin tak kunjung sembuh dari watak maling, demoralisasi demokrasi membudaya, kemiskinan pun semakin meningkat dan lain-lain.
Tentu hal itu, merupakan sesuatu yang kontra produktif dan harus dikaji dan dicarikan solusinya secara serius. Jika tidak, berarti kita telah membiarkan kesia-asian terus berlanjut. Mengapa ibadah haji tidak memberikan dampak dan bekas terhadap kesolehan sosial para pelakunya? Sungguh kenihilan itu sangat jelas dan tanpak di tengah-tengah masyarakat kita
Kenapa hal demikian terjadi? karena sehemat saya, para jemaah haji belum mengetahui hakikat dan tujuan haji yang sebenarnya. Ibadah haji yang dilaksanakan, hanya rutinitas dan ritualitas belaka yang kering makna, sehingga sepulangnya dari tanah suci mereka hanya membawa pakaian yang serba baru dan oleh-oleh. Tujuan haji tidak hanya menyangkut kepentingan transendental (interaksi manusia dengan Allah).
Syarat dan rukun haji, harus senantiasa memberi pelajaran yang besar bagi pelakunya dalam membentuk karakter, kepribadian dan etika interaksi antara manusia. Oleh sebab itu, memahami hakikat dan makna sosial haji adalah sesuatu keharusan, karena hal itu merupakan ruh dan tujuan sesungguhnya dari pelaksanaan haji. Islam mengajarkan keutuhan (kaffah) dalam melakukan kewajiban, maka kesolehan individual harus lah berbanding lurus dengan kesolehan social, itulah misi Islam terbesar sebagai agama rahmatan lil'aalamien (blessing for all creation).
Dengan ihram, Jemaah haji berlatih membebaskan dirinya dari belenggu dan budak keduniaan (material). Ketika jemaah berpakaian ihram, hal tersebut melambangkan kesetaraan dan persamaan derajat seluruh umat manusia. Dengan thawaf jemaah belajar, bahwa hidup harus senantiasa berjalan dalam koridor ketentuan Tuhan, agar sampai di muara kebahagiaan abadi.
Sa'i, mengajarkan bahwa hidup harus senantiasa berjuang dan berusaha semaksimal mungkin, untuk mencapai kesuksesan dunia akhirat. Sesuai dengan nama shofa yang berarti suci dan marwah yang berarti bermurah hati, maka usaha yang dilakukan manusia hendaknya dengan kesucian hati (ikhlas) dan berujung kedermawanan.
Lalu, dengan wukuf di Padang Arafah mengajarkan jemaah, bahwa manusia adalah makhluk kecil, yang tidak memiliki daya dan upaya kecuali dari-Nya. Hal itu tercemin, ketika para jamaah melakukan wukuf secara serentak, semuanya memuji dan mengagungkan Allah Swt. tak ada yang pantas untuk dibanggakan dalam hidup ini, kita hanya bagian partikel kecil yang tidak kelihat di jagad raya ini (bima sakti).
Tahallul, mengisyaratkan pembersihan dan penghapusan terhadap cara berfikir kotor, yang masih bersarang dalam benak manusia. Dengan tahallul jemaah haji diharapkan akan memiliki cara pandang kemanusiaan yang produktif, kemudian lahirlah tindakan yang bermamfaat bagi sesama umat manusia. Maka tertip dan sempurnalah haji yang dilakukan. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermamfaat terhadap sesamanya, itu lah makna rahmatan lil'aalamien. ***

Penulis adalah Mahasiswa FAI Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar