Sabtu, 19 November 2011

Pemuda Indonesia, Krisis Moralitas


Pemuda Indonesia, Krisis Moralitas
Oleh : Edi Sugianto*
Mungkin bukan sesuatu yang mengherankan lagi, jika kita mendengar atau bahkan  melihat dengan mata kepala sendiri, tauran terjadi di mana-mana. Tentu hal itu sangat mengganggu dan  meresahkan masyarakat, bahkan tidak sedikit korban berjatuhan karena ulah mereka yang saling brutal, melempar batu dan bahkan tak sedikit membawa benda-benda tajam, dan lain sebagainya. Ironisnya, hal tersebut dilakukan oleh para kaum pemuda terpelajar, mulai dari SMP, SMA, bahkan mahasiswa, yang mana mereka adalah generasi dan harapan bangsa ini ke depan. Apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka, sehingga diantara mereka seakan-akan tak bisa dipersatukan satu sama lain?.
Apakah tauran yang sudah membuming antar pelajar itu adalah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalah (problem solving)?, atau malah sebaliknya menciptakan masalah baru di antara mereka. Bukankah di sekolah para guru sering mengajarkan dan mengarahkan murid-muridnya, agar selalu melakukan musyawarah, jika ada masalah dan komplik di antara mereka. Karena musyawarah adalah langkah yang paling tepat untuk menyelesaikan komplik, menciptakan kerukunan dan mencari solusi permasalahan.
Dewasa ini, kenakalan remaja tidak hanya berhenti dengan budaya tauran dan hura-huranya. Akan tetapi yang lebih ironis, budaya barat (westernisasi) semakin menjamur di tengah-tengah lingkungan dan generasi bangsa Indonesia. Diantaranya budaya pergaulan bebas yang mengarah pada seks bebas, narkoba dan lain-lain. Apa yang terjadi, sehingga generasi bangsa ini tidak mampu memfilter budaya barat, yang terkenal dengan kebebasan-kebebasannya yang menghancurkan dan mematikan itu. Generasi bangsa ini harus selalu diberikan pencerahan oleh para pendidik, agar tidak silau dengan arus globalisasi tanpa kenal norma, nilai, budaya dan jati diri  bangsa.
Memang, Mengembangkan Iptek tidak diharamkan oleh agama dan negara. Bahkan itu suatu anjuran, akan tetapi perkembangan Iptek harus selalu diselaraskan dengan Imtak (iman dan takwa). Bagaimanapun alasannya, Imtak harus dijadikan lokomotif dan Iptek menjadi gerbong-gerbongnya, yang selalu mengikutinya. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi hanyalah media (perantara) untuk mencapai tujuan, yakni iman dan takwa, atau dengan bahasa sederhana, percaya dan patuh kepada norma-norma, norma agama, negara, adat dan lain sebagainya.
Secara lansung atau tidak langsung ternyata ide dan gagasan yang berkembang di mana saja di belahan bumi ini, mengakibatkan terjadinya perubahan nilai dan norma di belahan bumi lainya.  Adanya kecendrungan untuk memamfaatkan dan saling memanfaatkan ternyata mebawa akibat yang sangat besar terhadap perkembangan pendidikan. Oleh karena itu, proses memanusiakan manusia terkadang tidak menjamin adanya humanisasi, tetapi juga menimbulkan adanya kecendrungan dehumanisasi. Lalu, bagaimana tugas pendidikan Indonesia. Apakah belum maksimal menjalan perannya untuk “memanusiakan manusia”. Krisis moralitas bangsa ini, tidak terlepas dari terpuruknya moral generasinya. Pendidikan kita tidak akan mampu mencapai misi mulianya yakni, menjadikan generasi yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tanpa menciptakan budaya agamis. Hal itu akan berhasil, jika para pendidik bangsa ini mampu membentuk watak atau karakter anak-anak didiknya menjadi manusia yang beriman sempurna, berilmu dan berwawasan luas serta beramal sejati. Karena mendidik sejatinya, bukan hanya mentransmisi ilmu pengetahuan di tataran teori saja, namun lebih dari itu guru harus mentranformasikan nilai-nilai luhur dan mengajak untuk membudayakannya dalam kehidupan sehari-hari.            
Problem Solving Krisis
Menyikapi masalah pemuda yang kompleks di atas, tentu merupakan tugas pendidikan. Bagaimana respon pendidikan sebagai wadah pencetak SDM?. Dalam “Pendidikan-Karakter, Ahmad Sudrajat. Dijelaskan, bahwa karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Maka dengan momentum “sumpah pemuda” 28 Oktober 2011 kali ini, seluruh pendidik di berabagai lingkungan pendidikan Indonesia (keluarga, sekolah dan masyarakat), hendaknya lebih menggalakkan pendidikan karakter, yang kongkrit dengan pembudayaan di lingkungan tersebut, sehingga sumpah pemuda yang mereka ucapkan tidak hanya sekedar sumpah belaka. Numun sumpah pemuda bisa terejawantahkan dalam kehidupan nyata, meredam konplik dan menjadi pemersatu pemuda Indonesia, yang multi-cultural, multi-etnik dan multi-agama. Sehingga jati diri bangsa akan terhujam abadi dalam jiwa para pemuda.   

2 komentar:

  1. terima kasih mas edi, artikel ini sanngat membantu saya dalam menentukan problem solving yang berhubungan dengan sumpah pemuda.

    BalasHapus
  2. Sama2...smg bisa memberi secerca solusi. Itu tulisan2 pertama Edi..he. Inv 7e8e37f9

    BalasHapus