Sabtu, 19 November 2011

Kurban di Balik Pengabdian “Paripurna”


Kurban di Balik Pengabdian “Paripurna”  
Oleh: Edi Sugianto*
Islam memiliki dua hari raya, yakni Idul fitri dan Idul adha. Hari raya Idul adha juga dikenal dengan hari raya haji. Sebab pada saat yang bersamaan, umat Islam diperintahkan untuk melaksanakan rukun Islam yang kelima, yaitu haji ke Baitullah. Numun perintah tersebut hanya diberuntukkan bagi mereka yang mampu melaksanakannya, secara financial atau pun emosional. Sebab pergi haji tidak cukup hanya dengan persiapan uang, lebih dari itu Jemaah juga harus memilki kesiapan mental, artinya di samping sehat jasmani juga sehat rohani, dan memilki kesiapan ilmu yang memadai tentang hakikat haji tersebut.
Idul adha atau hari raya kurban, memiliki nilai historis yang agung dalam sejarah perjalanan seorang Nabi beserta istri dan anaknya. Keterangan tentang itu diabadikan dalam kitab-kitab agama sametik, Taurat, Injil dan Al-Qur’an. Oleh sebab itu, mempercayai hal tersebut, secara faktualitas dan ibrah (pelajaran) adalah sesuatu yang sangat jelas dan tak bisa ditawar-tawar kebenarannya.
Hari raya kurban tak lepas dari sejarah Nabi Ibrahim dan Ismail anaknya. Bertahun-tahun lamanya Nabi Ibrahim hidup sebagai suami dari Siti Sarah (istri pertamanya). Namun dari hubungan suami istri tersebut, Allah belum berkehendak memberinya seorang anak sebagai penerus perjuangannya. Dengan kesolehan dan kejernihan pikir sang istri, Siti Sarah pun akhirnya mengizikan sang suami (Nabi Ibrahim) untuk menikah lagi dengan seorang budak bernama Siti Hajar. Dari istri yang kedua ini lah, Nabi Ibrahim dianugrahi seorang putra yang saleh, yaitu Ismail. Hal tersebut, tentu merupakan suatu nikmat luar biasa dari Tuhan, sebab impian Ibrahim untuk memiliki seorang anak terjawab lah sudah. Namun tak lama kemudian, ombak ujian pun kembali menghantam dan mencoba meluluk lantahkan kesabaran dan ketaatan Ibrahim sebagai hamba yang saleh. Cobaan itu tak lain adalah perintah Allah Swt. kepada Ibrahim untuk menyembelih anaknya (Ismail). Sungguh perintah itu di batas rasio (akal) manusia. Mana mungkin Tuhan memerihkan seorang bapak untuk menyembelih anaknya, sebagai kurban?. Karena Nabi Ibrahim adalah seorang Nabi yang bijaksana, akhirnya ia tidak serta merta menjalankan perintah itu, ditakutkan hal itu hanya tipu daya setan. Namun mimpi itu terus datang menghampiri Ibrahim, sehingga ia yakin bahwa perintah itu adalah wahyu, yang datang dari Allah Swt. maka dengan penuh keyakinan ia melaksanakan perintah itu.     
Dalam  Al-Qur’an dijelaskan, “Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar." (QS Ash Shaaffaat, 37:102). Sugguh ketaatan yang luar biasa diperlihatkan oleh seorang anak soleh, yang umurnya masih sangat muda, namun kedekatannya dengan Sang Khaliq sangatlah dekat. Sehingga Nabi Ibrahim AS pun melakukan perintah penyembelihan itu. "Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya)". (QS. 37:103) Nabi Ibrahim AS telah melaksanakan perintah dalam mimpi itu tanpa keraguan, maka Allah SWT pun berfirman :"Dan Kami panggillah dia:"Hai Ibrahim", (QS. 37:104). "...sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik". (QS. 37:105) Allah menerangkan itu semua, dan menyatakan : "Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata". (QS. 37:106). Lalu, Allah SWT mengganti penyembelihan Ismail AS itu dengan firman-Nya, "Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar". (QS. 37:107).         
Sungguh kita sebagai orang yang beragama, harus mengambil ibrah berharga dari kisah dua Nabi agung tersebut. Mengingat hidup di dunia penuh dengan berbagai problema yang kompleks datang silih berganti, dalam keadaan apapun dan di manapun kita berada cobaan hidup pun akan datang menghampiri kita. Tentu tidak ada pilihan lain, kecuali menghadapinya dengan penuh kesabaran, sesuai dengan tingkatan cobaan yang datang. Oleh karenanya, tidak ada rumus “sabar ada batasnya” bagi pribadi kesatria, karena kesabaran sifatnya “unlimited”, artinya tak terbatas sesuai tingkatan cobaan yang datang, kesabaran pun dituntut mengimbangi dan menahkodainya. Orang yang mampu melalui cobaan yang datang dengan bersabar (secara aktif ataupun pasif). Maka secara otomatis ia akan tampil sebagai pemenang dan kemuliaan lah penghargaannya.
Secara garis besar ada tiga macam kesabaran dalam kehidupan manusia, antara lain: 
           Pertama, sabar dalam menghadapi berbagai macam musibah. Allah telah mensinyalir hal itu dalam (QS: al-Baqarah ayat 155-156). Kedua, sabar dalam melaksanakan kewajiban atau perintah Allah Swt. Ketiga: sabar dalam menjauhi segala larangan Allah Swt Dalam kehidupan ini sering kali kita mendengar kata “hak dan kewajiban”, yang mana dua kata tersebut tidak akan pernah terpisahkan relasinya. Manusia jika ingin mendapatkan hak-hak dalam kehidupannya, maka terlebih dahulu ia harus memenuhi kewajiban-kewajiban yang seharusnya Ia kerjakan. Tentu dalam melaksanakan kewajibanya, manusia harus selalu bersabar, istiqomah (konsisten) dan meminta pertolongan Allah Swt. karena tanpa ma’unah (pertolongan) Allah, manusia bukan lah apa-apa. Sebagai hamba (a’bit) dan khalifah (wakil) Allah di muka bumi, manusia harus senantiasa tawadhu’ (rendah hati), karena sesungguhnya segala kekuatan dan kekuasaan hanya milik-Nya.
Tipe kesabaran kedua dan ketiga di atas itu lah, benar-benar telah dilaksanakan dan diajarkan oleh Allah melalui Nabi agung Ibrahim dan Ismail AS, seperti kisah di atas. Semoga kita bisa mengambil pelajaran dan mampu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah Swt, hingga di batas kemuliaan dan akhir hayat. Maka Allah menegaskan dalam firman-Nya: “Sekali-kali tidaklah daging-daging dan darahnya itu dapat mencapai Allah, melainkan ketakwaan yang dilakukan Ruhani kamu (yang dapat mencapai-Nya)” (QS Al hajj 22 : 37).

Zakat dan Pemberantasan Kemiskinan


Zakat dan Pemberantasan Kemiskinan
Oleh : Edi Sugianto*
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang paling kaya, dengan sumber daya alam yang melimpah dan atmosfer alamnya sangat indah menakjubkan. Namun, mengapa masyarakatnya masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan?. Lalu, siapa yang bertanggung jawab dalam hal ini?.
Pastinya, semua warga Negara ini memiliki tanggung jawab kemanusian dalam menyikapi problema tersebut di atas. Tentu yang memiliki kewajiban dan paling bertanggung jawab adalah mereka yang mampu dan memiliki kelebihan harta dan telah wajib untuk mengeluarkannya, darisudut pandang agama ataupun kemanusiaan. Menyikapi hal itu, bagaimana kita merespon dalam menanggulangi krisis ekonomi yang berkelanjutan di Negara ini.
Salah satu yang bisa diharapkan dan menjadi solusi untuk mengentaskan kemiskinan umat adalah, dengan mengoptimalkan pengelolaan zakat. Dr.H.M. Djamal Doa, menyatakan dalam bukunya “Pengelolaan Zakat oleh Negara”, bahwasanya kita harus optimis, zakat akan mampu mengatasi kemiskinan umat. Namun hal itu memang memerlukan niat ikhlas, tekat kuat dan profesionalisme yang tinggi.
Kalau kita kaji zakat dari segi bahasa memang memiliki makna filosofis yang tinggi, yang bersetuhan langsung dengan hati. Zakat memiliki arti membersihkan dan mensucikan. Dijelaskan dalam QS. Asy-Syams (91): 9) “ Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”. Maksud ayat ini, membersihkan jiwa dari segala noda, yang bersifat bathiniyah, seperti halnya kebakhilan, ketamakan, dan keserakahan terhadap harta. Tidak sedikit orang kaya yang hedones dan mabuk dengan harta. Sehingga manusia lupa, bahwa harta yang mereka miliki ada hak orang lain, seperti fakir, miskin dan kelompok-kelompok yang berhak lainnya.                   
Tidak diragukan lagi, zakat (zakat fitrah ataupun maal/ harta) hukumnya wajib. Allah Swt. dengan  sangat tegas berfirman dalam QS. At taubah (9) : 103, “ Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka”.
Ketentuan orang yang wajib mengeluarkan zakat, berapa yang wajib dizakati dan apa saja yang wajib dizakati, memang semua itu dijelaskan dalam Al-Qur’an secara global (majmul) dan kemudian diperinci secara eksplisit oleh Sunnah Nabi Muhammad Saw. namun mengenai kewajiban mengeluarkan zakat adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar dan diingkari lagi oleh seorang muslim yang mukmin. Karena perintah mengeluarkan zakat memang sudah ada dan berlaku sejak Rasulullah Saw. atau bahkan sudah disyari’atkan pada umat Nabi-nabi sebelumnya.     
Pengelolaan Zakat oleh Negara:
Bagaimana jika zakat dikelola oleh Negara (pemerintah)?. Djamal Doa menegaskan bahwa zakat dikelolah oleh Negara, maksudnya bukan untuk memenuhi keperluan Negara, seperti membiayai pembangunan dan biaya-biaya rutinitas lainya. Namun maksudnya, zakat dikelola oleh Negara untuk dikumpulkan dan dibagikan kepada yang berhak menerimanya. Jadi Negara hanya sebagai fasilitator, untuk memudahkan dalam administrasi/ pelayanan dan pengelolaan zakat tersebut. Yang kemudian disalurkan kepada mereka yang benar-benar berhak menerimanya, yaitu 8 kelompok: pertama, orang fakir, yaitu orang yang sangat miskin, tidak mempunyai harta, dan juga tidak mampu bekerja mencari nafkah. Kedua, orang miskin, yaitu orang yang penghasilannya tidak mencukupi kebutuhan primir hidupnya, seperti makan dan minum sehari-hari. Ketiga amil, yaitu orang yang bertugas mengumpulkan dan membagi-bagikan zakat terhadap orang-orang yang berhak menerimanya. Keempat muallaf, yaitu orang yang baru masuk Islam, yang imannya masih lemah. Kelima, budak belian. Keenam gharim, yaitu orang yang dilillit hutang, karena berjuang dijalan Allah Swt. Ketujuh fisabilillah, yaitu orang yang berjuang demi lii’lai kalimatillah/ tegaknya agama Allah Swt. Kedelapan Ibnu sabil (musafir) yang kehabisan bekal dalam bepergian, namun dengan maksud baik.
Pertanyaannya mengapa zakat harus dikelola oleh Negara?. Dikutip dari buku Djamal Doa. Bahwasanya ada tiga alasan mengapa zakat dikelola oleh Negara: pertama memang umat Islam sudah sejak dahulu yakin terhadap badan amil zakat swata yang dikelolah masing-masing, seperti BAZNAS, BAZDA, LAZIZ, Dompet Dhuafa’ dan lain sebagainya. Namun, hal tersebut nampaknya kurang optimal, mengingat lemahnya kesadaran umat akan kewajiban zakat, dan menunggu kedermawanan umat adalah sesuatu yang lama. Namun kalau kita lihat dalam sejarah kebudayaan Islam, khususnya pada pemerintahan Khalifah Abu Bakar zakat merupakan kewajiban yang harus dikeluarkan, dan hal itu termasuk kebijakan Negara yang harus dipatuhi saat itu. Yang wajib tentunya mereka yang mampu dan masuk kriteria muzakki menurut ajaran agama Islam. Dan hal itu tidak boleh diingkari dan sanksi akan dijatuhkan pada mereka yang ingkar dan membangkan perintah. Bahkan konon mereka yang ingkar, wajib diperangi oleh pemerintah demitegaknya keadilan. Alhasil apa terjadi?. Pada saat itu (pemerintahan Abu Bakar) stabilitas ekonomi masyarakat terjaga dan hidup sejahtera, sentosa tanpa diskriminasi. Itulah pratik pemerintahan yang patut dicontoh oleh kita.
Kedua, perintah zakat memang merupakan syar’at dari Allah Swt dan Rasul-Nya yang tidak boleh dibantah, bahkan perintah itu sering kali disebutkan berdampingan dengan perintah shalat lima waktu. Ketiga, Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia beragama Islam, maka ibadah zakat hukumnya wajib. Oleh karana itu pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam mengelolanya. Di samping mengingat relevansinya sangat erat dengan UUD pasal 29 ayat 2 dan ketetapan MPR  No. 6 tentanng kemiskinan. Selayaknya lah pemerintah memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam pengelolaan zakat, sebagaimana haji juga dikelola oleh Negara. Mari Optimalkan pengelolaan zakat untuk memerangi kemiskinan bangsa Indonesia!

Toleransi dan Pluralisme Kebangsaan


Toleransi  dan Pluralisme Kebangsaan
Oleh: Edi Sugianto*
Indonesia merupakan bangsa yang plural, berbagai macam suku bangsa, agama, ras, budaya, bahasa dan lain sebagainya tumbuh berkembang berdampingan. Namun tidak mudah menciptakan kerukunan antara satu sama lain. Menciptakan rekonsiliasi demi tercapainya tujuan bersama dan kesejahteraan serta kemaslahatan kolektif sungguh memang bukan pekerjaan mudah. sehingga tidaklah jarang kita temukan antara kelompok/ golongan yang satu dengan kelompok terjadi komplik. Atas nama golongan atau bahkan agama dan Tuhan, mereka saling mencerca, menindas bahkan membunuh satu sama lain. Apakah benar Tuhan mengajarkan seperti itu?, tentu jawabannya tidak.
Manusia dan kehidupan secara fitrah memang telah diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa berbeda-beda atau bermacam-macam dan penuh warna-warni. Namun semua perbedaan itu bukan untuk bertikai dan bercerai beras. Haruslah disadari, perbedaan tercipta untuk bersatu dan saling mengenal. Bersatu tidak harus sama dan selalu bersama. Berapa banyak manusia hidup bersama-sama bertahun-tahun lamanya bahkan dalam satu atap, namun hati mereka tidak pernah bersatu. Jadi bersatu bukan terletak di wilayah fisik, namun di wilayah psikis (jiwa) dan hati.             
Saling menghargai, menghormati dan menerima satu sama lain, memang tidak semudah membacakan dan mendengarkan syair-syair. Karena sering kali terdapat perbedaan-perbedaan nilai dan norma, yang saling bersimpangan satu dan lainya. Semua harus menyadari, bahwasanya tidak akan pernah ada yang sama dalam kehidupan, tetapi manusia bisa bersatu dalam perbedaan, karena di dalam dirinya ada potensi persaudaraan (Al-Ukhuwah al-Insaniyah) yang telah diciptakan Tuhan YME.       
Alangkah indahnya hidup dalam persatuan dan persaudaraan, demi membuminya kedamaian dan tercapainya tujuan bersama. Apa yang dicari oleh manusia kecuali kebahagian hidup dunia akhirat. Kebenaran di sisi manusia hanya sesuatu yang relative, kebenaran mutlak hanyalah di tangan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh  karena itu, manusia dituntut dan diperintahkan untuk berlomba-lomba mencari hakikat kebenaran itu. Maka diciptakanlah manusia berbeda-beda, namun dalam dirinya telah tercipta potensi yang sama untuk memcari kebenaran dan kebahagian.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk sekaligus religius. Masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang atheis yang tidak mengenal agama, karena bangsa ini memang terbentuk dari berbagai budaya dan agama yang beragam. Yang paling gembar-gembor diperbincangkan tentang toleransi, adalah toleransi beragama. Wacana  keberagaman agama yang sering diperbincangkan, tentu merupakan akibat dari komplik yang terjadi berkepanjangan.
Benturan antara umat beragama, tentu berdampak besar pada stabilitas sosial. Maka agaman yang berperan melakukan pencerahan, berinisiatip dan berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan dengan bijak, maka tidak jarang diadakan dialog antar umat beragama itu. Alhasil, hal tersebut mampu menitralisir komplik-komplik yang terjadi karena intoleransi tersebut. 
Toleran sangat dibutuhkan di tengah masyarakat hidup berbangsa dan bernegara. Namun dewasa ini, toleransi dirasakan semakin lemah. Lalu, bagaimana untuk menumbuhkan dan memupuk kembali sikap toleransi?. Menurut Abu Hanifah dalam tulisannya dijelaskan, ada dua pendekatan untuk mengembakan toleransi dalam masyarakat plural, yaitu pendekatan sistem sosial dan pendekatan budaya.
Pendekatan sistem sosial delakukan melalui inter-group relation, yaitu hubungan antar anggota-anggota dari berbagai kelompok (etnik dan agama) untuk meningkatkan integrasi diantara mereka. Dengan adanya hal tersebut, dapat meminimalisir komplik-komplik yang sering terjadi. Pendekatan sistem budaya, bahwa masyarakat majemuk akan dapat kembali bersatu melalui kebijakan dan  pengamalan nilai-nilai atau norma-norma umum yang berlalu di tengah-tengah masyarakat. Dengan norma-norma umum tersebut, maka masyarakat plural akan mudah menjalin hungan yang harmonis. Dengan yang bersamaan, rasa persatuan akan tumbuh subur. Bagaikan tanah subur yang duhujani, sehingga tumbuh beranika macam bunga-bungaan yang indah dipandang mata, semerbak wanginya. Itulah gambaran manusia yang selalu mengedepankan sikap toleransi dalam kemajemukan. Beda dengan mereka yang intoleran. Bagaikan tanah gersang yang tidak akan pernah tumbuh apapun macam tanamannya.
Hemat penulis, memang tidak ada pilihan lain untuk menggalang persatuan dan kesatuan demi tercapainya kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat secara umum, kecuali dijembatani dengan sikap TOLERANSI yang tinggi dan penuh kesadaran.

Relasi Nilai-Nilai Pancasila dan Agama


Relasi Nilai-Nilai Pancasila dan Agama
Oleh: Edi Sugianto*
Mengingat bangsa Indonesia adalah bangsa plural (majemuk), yang ditandai adanya beragam suku bangsa, agama, budaya atau adat-istiadat. Maka pada Tanggal 1 Juni 1945 para tokoh nasional Indonesia berkumpul dan kemudian merumuskan sebuah ideologi penengah, yaitu ideologi pancasila (lima dasar negara). Dan kemudian, pada tanggal 17 Agustus pancasila resmi diproklamirkan menjadi idelogi bangsa Indonesia.
Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia dan alat pemersatu bangsa, menjanjikan, mengajarkan dan menuntun warganya, agar menjadi warga Negara yang baik dan menjadikan pancasila sebagai “the way of life” atau jalan dan pandangan hidup.
Pancasila, disamping memiliki fungsi dan peranan sebagai dasar dan pedoman hidup (falsafah hidup), pancasila juga merupakan sumber hukum yang ada di Negara Indonesia. Semua itu bukan tanpa alasan, artinya dicetuskannya ideologi pancasila memiliki konsekwensi logis yang positif, untuk mempersatukan segenap komponen bangsa dan untuk mencapai tujuan bersama demi kesejahteraan dan kemaslahatan. 
 Mungkin kita tidak asing mendengar pernyataan “bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Pernyataan itu lahir dari kesadaran kemanusian dan manusia sebagai makluk yang religius (beragama atau bertuhan). Agar seenantiasa menjalin persatuan sebagai makhluk sosial, yang saling membutuhkan dan berketergantungan.
Ideologi pancasila sebagai norma dan nilai bagi masyarakat Indonesia sangat erat hubungannya, dengan manusia sebagai makhluk yang beragama. Bahkan, hemat penulis ideologi pancasila merupakan satu kesatuan, artinya nilai-nilai yang terdapat dalam pancasila semua itu memang telah ada dalam agama sejak dahulu. Dan semua agama memiliki nilai-nilai yang sama, semuanya terangkum dan terintegral dalam ideologi pancasila. Sungguh anugerah yang sangat besar telah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia. Dengan pancasila semuanya bersatu dan saling mengisi dan menghiasi dengan warna-warni indahnya perbedaan. Taman bunga tidak akan indah dilihat oleh mata, jika hanya dihiasi dengan satu macam bunga, namun jika ada sebuah taman dihiasi dengan aneka macam bunga, maka kupu-kupu dan kumbang-kumbang akan senang menghampirinya. Itulah gambaran kodrat Tuhan, kita diciptakan beranika ragam suku bangsa, agama, budaya, namun dalam satu tujuan mencapai kebahagian, meskipun cara atau jalannya berbeda-beda.
Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila memiliki integritas dengan nilai dan norma agama:
Sila pertama: ketuhanan Yang Maha Esa. Memiliki nilai-nilai religius, yaitu keyakinan yang kaut yang mengakui adanya Tuhan YME, esa sifatnya, maha sempurna, kasih adil dan bijaksana. Ketakwaan menjalankan semua perintahnya dan menjauhi segala larangannya dengan penuh kesadaran. Bakankah semua agama juga selalu mengajarkan pemeluknya agar selalu menguatkan dan memperbaharui keimanan atau keyakinan kepada Tuhannya. Disamping pemeluk agama harus beriman, mereka juga harus mengaplikaikan dengan prilaku mereka sehari-hari, menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya itulah takwa.
Sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab, memiliki nilai kemanusian, yaitu pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan berprilaku adil dalam berbuat. Bukankah agama juga mengajarkan bagaimana berhubungan dengan sesama (hubungan horizontal), selain mengajarkan berhubungan secara vertical kepada Tuhan.
Sila ketiga: Persatuan Indonesia. Artinya segenap komponen bangsa selalu harus satu persepsi, bahwa mereka hidup dalam kemajemukan untuk saling mengisi bukan untuk saling menikam. Itulah makna “Bhinika Tunggal Ika”. Bukankah agama juga selalu mengajarkan kita untuk selalu bersatu dalam segala hal, karena Tuhan menciptakan manusia secara fitrah dari sari patih yang satu.   
Sila keempat: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Seluruh masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan yang sama dalam hak dan kewajiban. Dan harus selalu menjadiakan musyawarah sebagai solusi untuk memecahkan segala permasalahan. Sama halnya dengan ideologi pancasila. Agama juga mengajarkan untuk berprilaku bijak dalam segala hal. Dan menjadikan musyawarah sebagai wadah untuk menyatukan persepsi.          
Sila kelima: keadilan sosial bagi selurah Rakyat Indonesia. Ideologi pancasila menjanjikan untuk mewujudkan keadilan sosial tanpa diskriminasi. Baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan nasional. Cita-cita masyarakat adil dan makmur secara merata mamang cita-cita bangsa yang sejak dahulu. Dan juga keseimbangan antara hak dan kewajiban serta menghormati hak orang lain. Berprilaku adil terhadap sesama, memang telah diajarkan Tuhan Yang Maha Esa sejak dahulu sebelum pancasila menjadi ideologi bangsa ini,              
Hemat penulis, nilai-nilai ideologi pancasila diatas, semuanya terdapat dalam semua ajaran agama. Karena sejatinya, ideologi pancasila merupakan sari patih nilai-nilai agama yang disederhanakan untuk menjadi pemersatu seluruh komponen bangsa. Jadi agama sebagai the way of life dan blessing for all creation bukanlah omong kosong belaka.